Monday, October 15, 2018

[RESENSI NOVEL] Jugun Ianfu, Jangan Panggil Aku Miyako: Kisah Tragedi Cinta Seorang Jugun Ianfu



Enang Rokajat Asura, penulis novel bergendre sejarah yang saya kenal melalui karya beliau Dwilogi “Prabu Siliwangi” dan “Wangsit Siliwangi” terbitan Edelwiss 2009. Perkenalan saya dengan berlanjut ketika saya berkunjung ke Rumah Buku, di salah satu sudut ruang karya terbaru beliau menghiasi rak-rak display toko buku tersebut. Ada dua karya beliau terpajang Kupilih Jalan Gerilya, sebuah novel biografi Panglima Jendral Soedirman dan Jugun Ianfu, Jangan Panggil Aku Miyako. Saya pun memilih novel E. Rokajat Asura, Jugun Ianfu, Jangan Panggil Aku Miyako sebagai bahan bacaan saya. Sepengetahuan saya tak banyak bacaan ataupun novel yang mengangkat kisah kehidupan bangsa Indonesia pada Zaman Pendudukan Jepang atau Perang Asia Timur Raya terutama tentang “comfort women” atau Jugun Ianfu. Beberapa bacaan yang penah saya baca mengenai Jugun Ianfu seperti Perawan Remaja dalam Cengkraman Militer (Pramoedya Ananta Toer); Momoye, Mereka Memanggilku (Eka Hindra); serta Cantik itu Luka (Eka Kurniawan).
“Jepang itu lebih kejam dibandingkan Belanda”.       (Anonim)
Setidaknya novel ini memberikan gambaran salah satu bentuk kekejaman Kekaisaran Jepang terhadap perempuan Indonesia. Novel “ Jugun Ianfu, Jangan Panggil Aku Miyako” merupakan sebuah mengisahkan kehidupan seorang remaja putri pada periode 1942-1945. Lasmirah, begitu remaja putri berasal dari Suryotarunan, belum pernah mengalami menstruasi, tak pernah membayangkan takdirnya akan menjadi “Ransum Nippon”. Impiannya untuk menjadi seorang penyanyi terkenal di Borneo pupus sudah. Zus Mer, seorang kenalan di Suryotarunan menjanjikan padanya menjadi penyanyi terkenal di Borneo, malah mengantarkan Lasmirah hidup menjadi seorang Jugun Ianfu di Ianjo Telawang selama kurun waktu Perang Timur Raya.  “Lasmirah”, nama yang memiliki arti berkilauan, kini kehilangan kilauannya, berganti dengan Miyako.
Ianjo Telawang, sebuah rumah bordil militer daerah di Kalimantan Selatan, menjadi tempat yang menyimpan kenangan pahit para penghuni tak terkecuali Miyako. Tak hanya menggoreskan kenangan pahit Miyako yang menghantuinya seumur hidup  sebagai seorang Jugun Ianfu,  di dalam Ianjo Telawang inilah Miyako menemukan dua orang pria yang mencintainya dengan cara berbeda. Cinta pertama diperoleh dari seorang perwira menengah atas angkatan darat Jepang, tamu dari Ianjo Telawang bernama Yamada. Sosok Yamada memberikan kenyamanan dan harapan keluar dari Ianjo. Yamada memberikan janji untuk  memiliki keluarga dan hidup di Jepang ataupun Jawa. Namun, sosok ini pula yang menyebabkan Miyako beberapa kali bermasalah selama di Telawang.
Cinta kedua berasal dari seorang tentara PETA yang tinggal bersama keluarga pemusik Sahilatua di sebelah barat Ianjo Telawang bernama Pram atau Pramudia. Sebelum perkenalan “resmi” yang disponsori Ayumi atau Rosa, salah seorang penghuni Ianjo Telawang dan pemusik Sahilatua, secara kebetulan Miyako pernah melihat Pram sebelum keberangkatannya ke Borneo di Stasiun Pasar Turi. Pada pemuda inilah, hati Miyako tertambat. Tak hanya menjanjikan mengeluarkan Miyako dari Telawang, pada akhir kisah dia pula yang mengusahakan agar hal itu terwujud. Tak hanya janji semata!
Secara garis besar, novel “Jugun Ianfu, Jangan Panggil Aku Miyako” mengadaptasi kisah hidup Mardiyem, seorang Jugun Ianfu di Asrama Telawang yang pernah ditulis oleh Eka Hindra dan Koichi Kimura dengan judul “Momoye, Mereka Memanggilku”. Alur cerita yang maju mundur menyebabkan novel ini bukanlah bacaan yang dapat dibaca “sekali duduk”. Dibutuhkan konsentrasi dan keseriusan dalam membaca dan memahami isi novel. Untuk mengambarkan situasi kehidupan Miyako dan Ianjo Telawang, penulis menggunakan sudut pandang orang ketiga diluar cerita.
Sebagai novel sejarah, “Jugun Ianfu, Jangan Panggil Aku Miyako”, memiliki batas terkait konteks kejadian, tempat, dan waktu. Hal dapat menjadi kelemahan novel ini, penceritaan terasa monoton, terlebih lagi bagi pembaca yang sebelumnya telah membaca  “Momoye, Mereka Memanggilku”. Namun, apabila penulis melakukan eksplorasi yang lebih mendalam dari segi materi, ide penceritaan, dan pemilihan kata, akan membuat novel ini yang lebih menarik lagi.
Terlepas dari kekurangan tersebut, novel menjadi salah satu dari sedikit tulisan yang mengangkat tema Jugun Ianfu. Selama ini –sepengetahuan saya, keberadaan Jugun Ianfu selama Zaman Pendudukan Jepang merupakan fakta sejarah yang tidak pernah dibahas dalam pelajaran sejarah di tingkat Sekolah Menengah. Hadirnya novel ini dapat memberikan informasi dasar mengenai Jugun Ianfu. Pengemasan informasi yang dilakukan secara populer, menyebabkan pembaca mudah menangkap keseluruhan isi dari tulisan E. Rojakat Asura ini –di luar konteks alur cerita.
Bagi pembaca yang ingin mengetahui salah satu sisi kelam Perang Asia Timur Raya bagi Indonesia, direkomendasikan untuk membaca buku ini. Selamat membaca!
Catatan:
Resensi novel “Jugun Ianfu, Jangan Panggil Aku Miyako” ini sempat saya presentasikan dalam kelas resensi buku di Komunitas Aleut. Terlepas dari segi isi novel, topik jugun ianfu yang diangkat novel ini menarik perhatian peserta kelas resensi dan pembina Komunitas Aleut untuk mengetahui lebih lanjut praktik Jugun Ianfu di negara bekas jajahan Jepang selama Perang Asia Timur Raya. Banyak pertanyaan-pertanyaan muncul ketika saya menyampaikan resensi novel ini dalam bentuk lisan seperti: Apakah praktek jugun ianfu yang terjadi sepanjang Perang Asia Timur Raya dilegalkan oleh Kaisar Hirohito Apa yang menjadi alasan Kaisar melegalkan praktik jugun ianfu?; Bagaimana nasib ex-jugun ianfu setelah berakhirnya Perang Asia Timur Raya? Dan pertanyaan-pertanyaan lain. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang ditanyakan, tentu saja saya harus mengkomparasi isi novel ini dengan beberapa buku lain yang mengangkat topik jugun ianfu ini.
Sumber Foto: twitter @RokajatAsura 

Sunday, September 8, 2013

Pram: " Sejak dulu, orang-orang Indonesia tidak memiliki tradisi pengdokumentasian sejak jaman raja-raja, kalau mereka mendokumentasikan itu semata-mata demi raja-raja, sejarah kita pun jadi sejarah para raja. Tak heran saya kalau orang asing yang banyak menulis tentang Indonesia"

Pramoedya Ananta Toer (1001 Sketsa Wajah Pram)

Kembali Menulis

Sudah lama rasanya saya tidak meninggalkan jejak coretan saya dalam blog ini. Melihat terakhir postingan terakhir saya dalam blog ini April 2012. Berarti blog ini sudah lebih dari setahun tidak saya urus. Namun, bukan berarti dalam setahun saya tidak menulis sama sekali. Yang terjadi adalah saya terdistraksi dalam banyak hal. Inilah penyebab saya jarang menulis dalam blog, diari ataupun note. Terlalu banyak ide tulisan bermunculan dalam pikiran namun tak satupun yang menjadi sebuah tulisan utuh. Semua masih dalam bentuk poin-poin garis besar yang akhirnya menumpuk jadi coretan yang tak berbentuk dan ujung-ujungnya tidak memilki nilai manfaat baik bagi saya maupun orang lain.

Saya akui, menulis sesuatu sering sekali dilakukan namun bukanlah kegiatan yang mudah untuk dibiasakan. Sering dilakukan karena setiap hari kita selalu menulis baik menulis update-an dalam sosial media, menulis sms, email, catatan kuliah, catatan harian, note maupun reminder kegiatan. Dari sekaian banyak orang menulis, hanya segelintir orang yang membiasakan dirinya menulis bukan hanya untuk dirinya dan masa sekarang tapi untuk orang lain dan generasi selanjutnya.
Bahagia orang yang telah belajar menulis. Karena seorang penulis Indonesia yang terkenal dengan bukunya tetralogi Pulau Buru, Pramoedya Ananta Toer pernah berkata menulis merupakan pekerjaan menuju keabadian. Dalam salah satu seri tetralogi Pulau Buru, Anak Semua Bangsa, Pram seolah menjelma menjadi sosok Mama yang sedang memberikan nasehat pada Minke __kata-kata tersebut yang saya merupakan postingan terakhir saya dalam blog ini April 2012__ "Kau, Nak, paling sedikit harus bisa teriak. Tahu kau mengapa aku sayangi kau lebih dari siapapun? Karena kau menulis. Suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh dikemudian hari". Pernyataan Pram ini ditegaskan oleh adiknya, Sorsila Toer pendiri perpustakaan PATABA (Pramoedya  Ananta Toer Anak Semua Bangsa) dalam website : patabamembangun.blogspot.com "Bacalah kau akan tahu dunia dan isinya. Tulislah, kau akan dikenang sepanjang masa". Bagi saya pribadi, tujuan menulis sendiri adalah berbagi apa saja tentang pemikiran saya, pengetahuan, fenomena yang saya saksikan beserta  pendapat saya, ataupun hal-hal kecil yang luput dari perhatian orang banyak, namun hal yang menarik menurut saya. Semoga semangat berbagi saya dalam bentuk tulisan ini tidak luntur hanya karena rasa malas dan tidak bisa mengatur waktu yang telah disediakan Sang Pencipta.

Wednesday, March 28, 2012

Kunjungan Ke Rumah Zero Waste Milik Supardiyono Sobirin


Bandung -Ditemani matahari pagi yang menyehatkan, tim trainer beserta staf  dan relawan dari YPBB(Yayasan Pengenmbangan Biosains dan Bioteknologi) melakukan kunjungan ke rumah Supardiyono Sobirin di jalan Alfa 92 Cigadung (Sabtu,24/3/2012).
“Selamat datang di rumah saya, Rumah Zero Waste,” sambut bapak Sobirin menyambut kedatangan rombongan tim trainer, staf, dan relawan dari YPBB yang ingin mengetahui bagaimana keluarga beliau mengolah sampah rumah tangga yang dihasilkan.
Suparyono Sobirin, pemilik rumah 'zero waste'

Ternyata kali ini bukan YPBB saja yang melakukan kunjungan, di halaman depan rumah  Sobirin telah berkumpul pula perwakilan warga dari desa cilengkrang yang diteman oleh bapak camatnya. Tujuan kedatangan mereka adalah untuk belajar untuk tentang pengelolaan sampah skala rumah tangga.  
Berkaitan dengan Rumah Zero Waste, bapak Sobirin menjelaskan semenjak empat tahun lalu beliau menganut prinsip “Zero Waste” yang beliau aplikasikan mulai dari rumah beliau sendiri dan berlanjut menulari warga -warga disekitar . “Rumah Zero Waste”yang berarti rumah yang sama sekali tidak menghasilkan sampah.
 Apakah itu mungkin terjadi?

Mungkin saja. Rumah Zero Waste bermula dengan pemisahan sampah. Menurut Sobirin, sampah rumah tangga yang dihasilkannya sekitar 60% berupa sampah organik ──persentase ini tidak selalu tetap, dapat berubah setiap harinya──, 40% sampah lain yang terbagi lagi atas: 20% sampah plastik;  10% sampah kertas; dan 10% sampah lain-lain.  Setelah dilakukan pemisahan sampah, tahap selanjutnya pengolahan dan pemanfaatan. Untuk sampah plastik, dilakukan pemilahan antara botol dan plastik bekas makanan. Sampah yang telah dipilah di cuci hingga bersih. Untuk botol-botol diberikan pada pemulung dan plastik bekas makanan dapat dikreasikan menjadi kerajinan tangan.
Sampah organik… Untuk jenis sampah yang satu ini, Pak Sobirin mengolahnya dengan beberapa metode. Untuk sampah basah seperti peuyeum,bongkol pisang,  kencing serta kotoran kelinci diolah  menjadi mol (pupuk cair). Ada tiga jenis mol yang diproduksi oleh bapak Sobirin dipekarangan rumahnya yaitu mol peuyeum ( membantu pengomposan sampah dan mempercepat pembentukkan buah), mol air kencing kelinci (mempercepat pembentukkan buah dan  pertumbuhan daun), dan mol bongkol pisang (mempercepat pembentukkan buah dan pertumbuhan daun).  Untuk membuat mol diperlukan ¾ dari volume tempat  untuk air, satu kilogram gula, enam gelas air kelapa, serta satu kilogram bahan baku. Setelah dicampur dan diaduk didiamkan selama empat hari. Di hari kelima, mol sudah siap digunakan sebagai pupuk cair atau pun untuk pengomposan.

Jenis Mol yang diproduksi oleh Bapak Sobirin Supardiyono

Sampah dipekarangan rumah seperti daun, ranting, bangkai tikus, dan lainnya difermentasi secara aerob maupun anaerob yang menghasilkan pupuk kompos. Pengomposan secara aerob, Pak Sobirin sengaja membuat bak khusus dengan ukuran 1m x 1m x 1m disamping rumah dengan berventilasi. Bagian bawah khusus di design memiliki pintu agar dapat memanen  kompos.  Sampah pekarangan di potong kecil kecil lalu ditumpuk didalam bak. Setiap hari dilakukan pengadukkan dan setaip tiga hari sekali diberi campuran ketiga mol. Hasil pengomposan secara aerob dapat dipanen setelah satu bulan. Pengomposan secara anaerob dilakukan di halaman dengan bagian atas ditutup. Sampah yang akan dikompos, sengaja biarkan bersentuhan dengan tanah. Proses yang dilakukan sama dengan proses pengomposan secara aerob. Panen hasil untuk pengomposan ini dapat dilakukan setelah enam bulan.
Selain itu, prinsip segala sesuatu itu dapat diolah dan dijadikan sesuatu yang bermanfaat dapat terlihat di pekarangan belakang rumah Pak Sobirin. Di pekarangannya yang luas itu terdapat kandang kelinci, penampungan air hujan, dan  pengolahan limbah cuci dapur. Kotoran dari kelinci berserta kencingnya, beliau manfaatkan menjadi mol.
Untuk air bekas cucian dapur, Pak Sobirin membuat treatmen khusus. Beliau membuat kolam kecil bertingkat tiga seluas satu meter persegi. Tingkat ketiga terdiri dari dua kolam kecil. Kolam satu berukuran 40 cm x15 cm dan kolam dua 40 cm x25 cm. Antar kolam dibatasi dinding beton tipis dan berlubang sebagai saringan. Selain itu, pada kolam satu juga diberi busa karet yang berfungsi sebagai penyaring. Kolam tiga yang berukuran 60 cm x 40 cm berada pada tingkat kedua. Kolam ini menampung air yang berasal dari kolam dua dan mengalirkan air ke kolam 4 (kolam terbesar yang berukuran 100 cm x 60 cm) yang terletak didasar melalui pipa paralon.  Kolam 2,3, dan 4 bisa di jadikan “taman air limbah” dengan menanam tanaman air (teratai, melati air, enceng) sebagai penyerap bahan pencemar dalam air bekas cucian atau kolam ikan (jenis ikan yang tahan hidup dalam bekas air cucian dapur).
Air hujan yang turun di halaman rumah beliaupun ikut dimanfaatkan. Beliau menampungnya dan  menanfaatkannya untuk menyiram tanaman,  dan mencuci tangan setelah membersihkan pekarangan. Menampungan air ini tidak memiliki treatmen khusus. Menurut beliau, air hujan tidak perlu di treatmen lagi karena di alam sendiri proses tersebut telah dilakukan. Namun Tian, salah seorang relawan YPBB,  memiliki pandangan lain. Air hujan  pada zaman sekarang sudah terkena polusi asap pabrik, kendaraan dan polusi-polusi lain sehingga perlu treatmen khusus untuk menguranginya
Sebisa mungkin tidak ada sampah yang keluar dari rumah’ merupakan prinsip dianut oleh keluarga Pak Sobirin yang dapat ditiru oleh keluarga lain untuk mengurangi sampah dari rumah.__Hani   

Foto Bersama, Volunteer, Staff YPBB dan Pak Sobirin Supardiyono


Friday, February 17, 2012

Acak Kadut Publikasi Maya


Sedikit sharing tentang keluhan mungkin sebagian kecil pengguna social network  dan pemikiran saya tentang publikasi maya

"Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia(KBBI),Pub·li·ka·si n 1 pengumuman; 2 penerbitan. Sehingga umum dapat disimpulkan bahwa publiasi adalah kegiatan memberitahukan/ mengumumkan suatu kegiatan, event, kampaye, ataupun produk kepada masyarakat luas dengan tujuan tertentu."

Sebelum internet merambah keseluruh pelosok, publiasi biasanya dilakukan dengan cara penempelan pada papan pengumuman, pembagian flayer, bosur,atau pamphlet, poster, dan media massa. Untuk publikasi menggunakan media massa biasanya dikenakan tarif tertentu berdasarkan iklan yang akan ditayangkan, durasi serta pertimbangan lain. Publikasi ini terasa memberatkan disebabkan karena harus mengeluarkan ongkos tambahan.

Dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi juga mempengaruhi cara orang dalam mempublikasikan sesuatu event, kampaye, atau pun produk dagangan. Banyaknya jaringan pertemanan seperti Facebook, Twitter, Koprol, Blog dan sebagainya, memudah dalam mempublikasikan sesuatu.

Contoh keluhan salah satu pengguna Facebook
Contoh mudah, dalam penggunaan Facebook, publikasi dilakukan dengan berbagai cara seperti update status, upload foto dan tag foto, menggunakan akun FB khusus ataupun menciptakan group serta fan page. Pada awalnya cara ini cukup efektif karena updatean informasi diterima secara cepat namun kelama- lamaan hal ini mengganggu kenyamanan dalam menggunakan social networking. Update-update yang berisi promosi dan publikasi ini terkadang memenuhi home pengguna social networking sehingga update-an penting tertutup dengan updatean publikasi. Banyak pengguna social networking yang mulai mengeluh.

Selain itu, publikasi dalam bentuk taggin foto juga terasa mulai mengganggu. Mulai dengan meng-tag barang-barang yang dijual dionline shop hingga publikasi acara yang acak-kadut menghiasi foto-foto, wall, atau status kita.

Benar adanya publikasi melalui media maya sekarang sedang booming dan efektif-efektifnya. Namun ada yang dilupakan oleh orang yang menerbitkan publikasi maya. Jika suatu event telah dilaksanakan atau barang dionline shop telah sold out, dimohon untuk membersihkan publikasi dan promo yang telah dibuat. Maksud membersihkan disini mengromove tag foto yang berisi event atau sale yang telah dipromosikan. Jangan sampai kita mengurangi sampah dalam kehidupan nyata tapi membuat sampah baru dalam didunia maya. Mungkin sebagian orang tidak terlalu memperdulikan hal ini, namun ada sebagian lain yang terganggu dengan publikasi semacam ini. Ingat hal yang kita lakukan menyangkut dengan orang  lain juga.


Salah satu publikasi kadarluarsa
Maaf jika tulisan ini menyinggung beberapa pihak yang memiliki kepentingan dengan publikasi di dunia maya. 

Wednesday, December 7, 2011

Imajinasi saat kuliah Hukum Lingkungan


23 Agustus 2011

Setengah mengantuk mengikuti kuliah "Hukum Lingkungan" yang diajarkan oleh bapak Sutan Adjamsjah yang diadakan pada pukul 16.00-18.00. Saat beliau menerangkan slide mengenai 'Ekologi dan Teknis Berproduksi dari Lingkungan Hidup' khususnya tentang penjelasan tentang teknis ekstratif adalah masa dimana saya sangat tidak konsentrasi dan mengantuk. Namun ada beberapa hal yang menarik dari ocehan beliau.

"Teknis ekstraktif adalah suatu proses mengambil sesuatu dari alam untuk memenuhi kebutuhan manusia" setidaknya itulah yang saya tangkap dari penjelasan beliau.
Menurut http://www.kamusbesar.com/9985/ekstraktif kata ekstraktif tergolong kepada kelompok adjektiva yang berarti bersifat ekstraksi.

Otak saya mulai kembali bekerja saat beliau memberikan  contoh akibat teknis ekstraktif pada penambangan terbuka yang terjadi di Tembagapura (FreeFort) yang dampaknya tidak terlalu kentara karena merupakan daerah kosong (tidak terdapat permukiman) dan penambangan timah di Bangka Belitung yag meninggalkan lubang galian besar.

Imajinasi saya membawa melihat suatu contoh kasus yang terjadi di daerah yang pernah saya kunjungi 5 tahun yang lalu. Tepatnya didaerah Sawahlunto.
Kota Sawahlunto terkenal dengan julukkan kota mutiara hitam, kota arang,dan kota tambang. Julukkan tersebut emang pantas diberikan karena sebagian besar matapencarian penduduknya ditopang dari sektor pertambangan khususnya batubara. Sawahlunto pernah menjadi pengahsil batubara terbesar di Indonesia. Sejarah berdiriannya pertambangan batubara dikota ini dimulai sejak ditemukannya cadangan batu bara di kota ini oleh seorang geolog Belanda bernama Ir. William Hendrik De Greve pada tahun 1867 yang diperkirakan depositnya 200 juta ton. Dengan potensi tersebut, 1 Desember 1888 pemerintah Hindia-Belanda mulai melakukan investasi sebesar 5.5 juta gulden untuk membangun berbagai fasilitas pengusahaan tambang batubara, dalam memenuhi kebutuhan industri dan transportasi masa itu. Dan kemudian peristiwa ini diabadikan sebagai Hari Jadi Kota Sawahlunto. Tahun 1982 merupakan awal produksi batubara dari kota ini dan dimulai  kawasan ini menjadi pemukiman pekerja tambang, dan berkembang menjadi sebuah kota kecil dengan penduduk yang intinya adalah pegawai dan pekerja tambang.

Untuk memudahkan pengangkutan batubara, pemerintah Hindia-Belanda membangun jalur kereta api yang menghabiskan dana sebesar 17 juta gulden, menghubungkan kota Sawahlunto dan kota Padang (1894).

Sebelum menjadi daerah pertambangan, Sawahlunto merupakan kamp tahanan. Sehingga hingga tahun 1898, penambangan dilakukan oleh orang rantai (narapidana yang dipaksa bekerja untuk menambang dengan  upah yang murah). Tahun 1908 untuk upah buruh paksa adalah sebesar 18 sen/hari dan setiap pembangkangan dikenakan sangsi hukum cambuk. Untuk buruh kontrak mendapatkan bayar sebesarr 32 sen/hari dan mendapatkan fasilitas tempat tinggal serta jaminan kesehatan. Sedangkan untuk buruh bebas upahnya sebesar 62 sen/hari tanpa mendapat fasilitas apapun.

Tahun 1918 kota Sawahlunto telah dikategorikan sebagai Gemeentelijk Ressort atau Gemeentedengan luas wilayah 778 Ha, atas keberhasilan kegiatan pertambangannya. Adanya  kereta api telah mendorong produksi pertambangan batubara memberikan hasil yang positif, dimana pada tahun 1920 produksi batu bara dari hanya puluhan ribu ton menjadi ratusan ribu ton per tahun, dari usaha yang rugi menjadi usaha dengan laba besar sampai 4,6 juta gulden dalam setahun.
Setelah kemerdekaan Indonesia, selanjutnya hak penambangan dikelola oleh negara dan diberikan kepada PT Tambang Batubara Ombilin (TBO), namun kemudian perusahaan ini dilikuidasi menjadi anak perusahan dari PT. Bukit Asam yang terdapat di Sumatera Selatan. Dan seiring dengan reformasi pemerintahan dan bergulir otonomi daerah, masyarakat setempat pun menuntut untuk dapat melakukan penambangan sendiri.

Dari sekian banyak perusahaan yang melakukan operasi penambangan, yang menarik perhatian saya adalah kasus PT. PAMA Persada Nusantara.
Sekitar tahun 2003, kedalaman eksploitasi melalui tambang terbuka yang dilakukan perusahaan tambang ini mencapai kedalaman 175 meter dikaki bukit Tanah Hitam.Tak jauh dari lokasi penam­bangan tersebut, terdapat aliran Sungai Batang Ombilin yang berasal dari Danau Singkarak yang bermuara dipantai timur Sumatera. Aktifitas penambangan ini bergerak terus menuju dinding pembatas antara kawasan tambang dan sungai. Denga keadaan dinding penahan yang rapuh menyebabkan aliran Batang Ombilin dapat menjebol dinding pembatas.Tanggal 25 April 2003 dalam waktu  kurang dari setengah hari, seluruh kawasan pertambangan milik PT. PAMA Persada Nusantara berubah menjadi danau, menenggelamkan puluhan orang pekerja tambang, serta menyebabkan aliran sungai Batang Ombilin kering selama 3 jam. Danau yang terbentuk tak sengaja ini oleh masyarakat setempat diberi nama Danau Kandih.

Sejak kejadian itu, pemerintah Sawahlunto mengalihfungsikan kawasan tersebut menjadi arena rekreasi air di Sawahlunto.Di area Kandih dapat ditemukan berbagai atraksi olah raga air. Masih kawasan sekitar danau Kandih, pemerintah Sawahlunto juga membangun sebuah kebun binatang tematik.Selain itu, Danau Kandih juga dijadikan kawasan perikanan tambak. Namun dalam beberapa tahun kedepan, nama Danau Kandih Sawahlunto akan segera terhapus dari daftar salah satu objek wisata di ‘Kota Arang’ tersebut. Hal ini dikarenakan, danau yang terbentuk akibat kecelakaan alias jebolnya aliran Batang Ombilin itu akan segera ditimbun karena dinilai tidak lagi efektif sebagai objek wisata maupun lokasi perikanan. Rencana penimbunan tersebut dikarenakan kecenderungan danau yang semakin mendangkal dari waktu ke waktu. Dari awalnya memiliki kedalaman 80 meter hingga mencapai 175 meter, sekarang danau ini hanya memiliki kedalaman 15 meter hingga 45 meter. Pendangkalan terjadi akibat sedimen berupa lumpur dari pengikisan tebing yang ada di arel Kandi serta endapan an-organik dari aliran sungai Ombilin, yang juga bisa mencemari lingkungan hidup dikawasan itu.Sedimentasi pada dasar danau membentuk lumpur hisap yang sangat berbahaya jika digunakan sebagai lokasi wisata.
Selain itu, danau kandih juga memiliki zat asam yang tinggi yang menyebabkan kematian pada tambak. Semoga saja penimbunan danau Kandih menjadi solusi terbaik untuk dampak pertambangan terbuka di kota Sawahlunto