Thursday, April 29, 2010

Cerita Singkat tentang Gedung "De Driekuer"


Bank BTPN yang dulunya kantor berita Domei
Bangunan karya arsitek Belanda Albert Frederik Aalbers itu dibangun pada akhir dekade 1930. Tujuan pembangunannya untuk kantor sekaligus rumah seorang pengusaha China(menurut http://djawatempodoeloe.multiply.com gedung ini merupakan kediaman Aalbers ) .Pada masa pendudukan Jepang, bangunan itu difungsikan sebagai Kantor Berita Domei. Pada 17 Agustus 1945, Kantor Berita Domei menerima kawat berisi teks proklamasi. Bangunan Drie Kleur menjadi saksi dibacakannya teks proklamasi kemerdekaan Indonesia di Kota Bandung untuk pertama kalinya. GEDUNG De Drie Kleur (dalam bahasa belanda artinya Tiga Warna kemungkinan warna bendera belanda yaitu merah putih biru ) di sudut Jln. Sultan Agung dengan Jln. Ir. H. Djuanda (Dago) yang kini menjadi kantor Bank Tabungan Pensiunan Nasional (BTPN).Pada 17 Agustus 1945, Kantor Berita Domei menerima kawat berisi teks proklamasi. Bangunan Drie Kleur menjadi saksi dibacakannya teks proklamasi kemerdekaan Indonesia di Kota Bandung untuk pertama kalinya. Bangunan ini banyak dipengaruhi oleh aliran Nieuw Bouwen- gaya arsitektur yang berkembang di Hindia Belanda pada akhir tahun 1930-yang memperlihatkan garis-garis stream line. Gaya ini mengutamakan kesederhanan tanpa banyak ornamen dekoratif. Tampak bahwa pengutamaan kesederhanan ini menunjukkan perbedaannya dari gaya art deco, yang menonjolkan unsur dekoratif. Konsep aliran Nieuw Bowen (istilah aliran yang dipakai oleh arsitek Belanda pada akhir 1930an) sangat terasa pada bangunan De DrieKleur yang bergaya bangunan mirip Hotel Savoy Homann. Bangunan Drie Kleur memperlihatkan adanya proses perkembngan gaya Art Deco yang mulai melepaskan unsur-unsur dekoratifnya. Selain itu villa Tiga Warna punya simetri keras tanpa menara. Sebelumnya, bangunan bersejarah ini pernah digunakan sebagai kantor polisi, bahkan pernah juga dijadikan diskotek.

Sumber : http://www.bandungheritage.org/
http://www.pikiranrakyat.com/

Saturday, April 10, 2010

Jam-jam dengan angka Romawi seperti ini IIII

Jam-jam dengan angka Romawi seperti ini IIII

1. Jam Pada Bangunan Bank Mandiri dijalan Asia Afrika




2. Jam Pada Bethel Church di jalan Wastukencana





3. Jam Gadang Pasar Bukittinggi


Jam yang dibangun pada 1926 ini, diarsiteki Yazin dan Sutan Gigi Ameh
ini berdiri megah di pusat Bukittinggi sebagai ikon Sumbar
Sepintas, mungkin tidak ada keanehan pada bangunan jam setinggi 26
meter tersebut. Apalagi jika diperhatikan bentuknya, karena Jam Gadang
hanya berwujud bulat dengan diameter 80 sentimeter, di topang basement
dasar seukuran 13 x 4 meter, ibarat sebuah tugu atau monumen. Oleh
karena ukuran jam yang lain dari kebiasaan ini, maka sangat cocok
dengan sebutan Jam Gadang yang berarti jam besar.

Bahkan tidak ada hal yang aneh ketika melihat angka Romawi di Jam
Gadang. Tapi coba lebih teliti lagi pada angka Romawi keempat.
Terlihat ada sesuatu yang tampaknya menyimpang dari pakem. Mestinya,
menulis angka Romawi empat dengan simbol IV. Tapi di Jam Gadang malah
dibuat menjadi angka satu yang berjajar empat buah (IIII). Penulisan
yang diluar patron angka romawi tersebut hingga saat ini masih
diliputi misteri. Tapi uniknya, keganjilan pada penulisan angka
tersebut malah membuat Jam Gadang menjadi lebih "menantang" dan
menggugah tanda tanya setiap orang yang (kebetulan) mengetahuinya dan
memperhatikannya. Bahkan uniknya lagi, kadang muncul pertanyaan apakah
ini sebuah patron lama dan kuno atau kesalahan serta atau atau yang
lainnya.

Dari beragam informasi ditengah masyarakat, angka empat aneh tersebut
ada yang mengartikan sebagai penunjuk jumlah korban yang menjadi
tumbal ketika pembangunan. Atau ada pula yang mengartikan, empat orang
tukang pekerja bangunan pembuatan Jam Gadang meninggal setelah jam
tersebut selesai. Masuk akal juga, karena jam tersebut diantaranya
dibuat dari bahan semen putih dicampur putih telur. Jika dikaji
apabila terdapat kesalahan membuat angka IV, tentu masih ada
kemungkinan dari deretan daftar misteri. Tapi setidaknya hal ini
tampaknya perlu dikesampingkan. Sebagai jam hadiah dari Ratu Belanda
kepada controleur (sekretaris kota), dan dibuat ahli jam negeri Paman
Sam Amerika, kemungkinan kekeliruan sangat kecil.

Tapi biarkan saja misteri tersebut dengan berbagai kerahasiaannya.
Namun yang patut diketahui lagi, mesin Jam Gadang diyakini juga hanya
ada dua di dunia. Kembarannya tentu saja yang saat ini terpasang di
Big Ben, Inggris. Mesin yang bekerja secara manual tersebut oleh
pembuatnya, Forman (seorang bangsawan terkenal) diberi nama Brixlion.
Sekarang balik lagi ke angka Romawi empat, apakah pembuatan angka
empat yang aneh itu disengaja oleh pembuatnya, juga tidak ada yang
tahu. Tapi yang juga patut dicatat, bahwa Jam Gadang ini peletakan
batu pertamanya dilakukan oleh seorang anak berusia enam tahun, putra
pertama Rook Maker yang menjabat controleur Belanda di Bukittinggi
ketika itu.

Ketika masih dalam masa penjajahan Belanda, bagian puncak Jam Gadang
terpasang dengan megahnya patung seekor ayam jantan. Namun saat
Belanda kalah dan terjadi pergantian kolonialis di Indonesia kepada
Jepang, bagian atas tersebut diganti dengan bentuk klenteng. Lebih
jauh lagi ketika masa kemerdekaan, bagian atas klenteng diturunkan
diganti gaya atap bagonjong rumah adat Minangkabau. Di tengah usia
yang ke 84 tahun, jam yang dibangun dengan biaya 3.000 gulden (saat
itu), saat ini masih berdiri kokoh sebagai ikon pariwisata Sumbar







Alasan penggunaan penulisan angka empat Romawi dengan simbol IIII bukan VI terdapat tiga versi.

  1. Sebuah cerita mengisahkan seorang Clockmaker membuat jam khusus untuk seorang Raja Perancis saat itu yaitu Louis XIV. Saat ditunjukkan jam buatannya tersebut, sang Raja menolak dan meminta agar angka 4 dibuat dalam bentuk IIII dan bukannya IV seperti yang dibuat oleh Clockmaker itu. Walaupun sudah dijelaskan kebenarannya, sang raja tetap bersikeras agar bentuk diganti dengan IIII. Akhirnya Clockmaker menyetujui dan sejak saat itu hampir semua jam menerapkan bentuk IIII daripada IV untuk penunjuk jam 4.
  2. Penjelasan lebih logis adalah berdasarkan dari sisi estetika. Sebuah jam dengan penunjuk angka Romawi akan terdiri dari bentuk I, V dan X yang tersebar. Apabila angka 4 dibuat dengan bentuk IV, akan terjadi 'ketidak-seimbangan' dari sisi estetika antara bagian kiri dial dan kanan dial. Bentuk VIII pada sisi kiri berhadapan dengan bentuk IV pada sisi kanan. Bentuk VIII dirasakan 'lebih berat' daripada bentuk IV, dan agar terjadi keseimbangan maka bentuk IV diganti dengan IIII.
  3. Alasan lain penggunaan IIII dipilih daripada bentuk IV adalah dari sisi pemaknaan. Dalam Bahasa latin penggunaan bentuk IV tidak digunakan karena simbol IV merujuk pada salah satu Dewa orang Romawi yaitu Jupiter yang sering disingkat sebagai JU. Huruf J pada Bahasa Latin ditunjukkan dengan bentuk I sedangkan huruf U ditunjukkan dengan bentuk V, karena itu IV sama dengan makna JU yang berarti Jupiter. Karena itu sangat dihindari penulisan IV di tempat-tempat umum yang dianggap 'tidak terhormat'



Referensi :
http://jamkuno.blogspot.com/2009/08/why-iiii-instead-of-iv.html
Padang Ekspres ONLINE, Kamis, 13-Desember-2007