Wednesday, December 7, 2011

Imajinasi saat kuliah Hukum Lingkungan


23 Agustus 2011

Setengah mengantuk mengikuti kuliah "Hukum Lingkungan" yang diajarkan oleh bapak Sutan Adjamsjah yang diadakan pada pukul 16.00-18.00. Saat beliau menerangkan slide mengenai 'Ekologi dan Teknis Berproduksi dari Lingkungan Hidup' khususnya tentang penjelasan tentang teknis ekstratif adalah masa dimana saya sangat tidak konsentrasi dan mengantuk. Namun ada beberapa hal yang menarik dari ocehan beliau.

"Teknis ekstraktif adalah suatu proses mengambil sesuatu dari alam untuk memenuhi kebutuhan manusia" setidaknya itulah yang saya tangkap dari penjelasan beliau.
Menurut http://www.kamusbesar.com/9985/ekstraktif kata ekstraktif tergolong kepada kelompok adjektiva yang berarti bersifat ekstraksi.

Otak saya mulai kembali bekerja saat beliau memberikan  contoh akibat teknis ekstraktif pada penambangan terbuka yang terjadi di Tembagapura (FreeFort) yang dampaknya tidak terlalu kentara karena merupakan daerah kosong (tidak terdapat permukiman) dan penambangan timah di Bangka Belitung yag meninggalkan lubang galian besar.

Imajinasi saya membawa melihat suatu contoh kasus yang terjadi di daerah yang pernah saya kunjungi 5 tahun yang lalu. Tepatnya didaerah Sawahlunto.
Kota Sawahlunto terkenal dengan julukkan kota mutiara hitam, kota arang,dan kota tambang. Julukkan tersebut emang pantas diberikan karena sebagian besar matapencarian penduduknya ditopang dari sektor pertambangan khususnya batubara. Sawahlunto pernah menjadi pengahsil batubara terbesar di Indonesia. Sejarah berdiriannya pertambangan batubara dikota ini dimulai sejak ditemukannya cadangan batu bara di kota ini oleh seorang geolog Belanda bernama Ir. William Hendrik De Greve pada tahun 1867 yang diperkirakan depositnya 200 juta ton. Dengan potensi tersebut, 1 Desember 1888 pemerintah Hindia-Belanda mulai melakukan investasi sebesar 5.5 juta gulden untuk membangun berbagai fasilitas pengusahaan tambang batubara, dalam memenuhi kebutuhan industri dan transportasi masa itu. Dan kemudian peristiwa ini diabadikan sebagai Hari Jadi Kota Sawahlunto. Tahun 1982 merupakan awal produksi batubara dari kota ini dan dimulai  kawasan ini menjadi pemukiman pekerja tambang, dan berkembang menjadi sebuah kota kecil dengan penduduk yang intinya adalah pegawai dan pekerja tambang.

Untuk memudahkan pengangkutan batubara, pemerintah Hindia-Belanda membangun jalur kereta api yang menghabiskan dana sebesar 17 juta gulden, menghubungkan kota Sawahlunto dan kota Padang (1894).

Sebelum menjadi daerah pertambangan, Sawahlunto merupakan kamp tahanan. Sehingga hingga tahun 1898, penambangan dilakukan oleh orang rantai (narapidana yang dipaksa bekerja untuk menambang dengan  upah yang murah). Tahun 1908 untuk upah buruh paksa adalah sebesar 18 sen/hari dan setiap pembangkangan dikenakan sangsi hukum cambuk. Untuk buruh kontrak mendapatkan bayar sebesarr 32 sen/hari dan mendapatkan fasilitas tempat tinggal serta jaminan kesehatan. Sedangkan untuk buruh bebas upahnya sebesar 62 sen/hari tanpa mendapat fasilitas apapun.

Tahun 1918 kota Sawahlunto telah dikategorikan sebagai Gemeentelijk Ressort atau Gemeentedengan luas wilayah 778 Ha, atas keberhasilan kegiatan pertambangannya. Adanya  kereta api telah mendorong produksi pertambangan batubara memberikan hasil yang positif, dimana pada tahun 1920 produksi batu bara dari hanya puluhan ribu ton menjadi ratusan ribu ton per tahun, dari usaha yang rugi menjadi usaha dengan laba besar sampai 4,6 juta gulden dalam setahun.
Setelah kemerdekaan Indonesia, selanjutnya hak penambangan dikelola oleh negara dan diberikan kepada PT Tambang Batubara Ombilin (TBO), namun kemudian perusahaan ini dilikuidasi menjadi anak perusahan dari PT. Bukit Asam yang terdapat di Sumatera Selatan. Dan seiring dengan reformasi pemerintahan dan bergulir otonomi daerah, masyarakat setempat pun menuntut untuk dapat melakukan penambangan sendiri.

Dari sekian banyak perusahaan yang melakukan operasi penambangan, yang menarik perhatian saya adalah kasus PT. PAMA Persada Nusantara.
Sekitar tahun 2003, kedalaman eksploitasi melalui tambang terbuka yang dilakukan perusahaan tambang ini mencapai kedalaman 175 meter dikaki bukit Tanah Hitam.Tak jauh dari lokasi penam­bangan tersebut, terdapat aliran Sungai Batang Ombilin yang berasal dari Danau Singkarak yang bermuara dipantai timur Sumatera. Aktifitas penambangan ini bergerak terus menuju dinding pembatas antara kawasan tambang dan sungai. Denga keadaan dinding penahan yang rapuh menyebabkan aliran Batang Ombilin dapat menjebol dinding pembatas.Tanggal 25 April 2003 dalam waktu  kurang dari setengah hari, seluruh kawasan pertambangan milik PT. PAMA Persada Nusantara berubah menjadi danau, menenggelamkan puluhan orang pekerja tambang, serta menyebabkan aliran sungai Batang Ombilin kering selama 3 jam. Danau yang terbentuk tak sengaja ini oleh masyarakat setempat diberi nama Danau Kandih.

Sejak kejadian itu, pemerintah Sawahlunto mengalihfungsikan kawasan tersebut menjadi arena rekreasi air di Sawahlunto.Di area Kandih dapat ditemukan berbagai atraksi olah raga air. Masih kawasan sekitar danau Kandih, pemerintah Sawahlunto juga membangun sebuah kebun binatang tematik.Selain itu, Danau Kandih juga dijadikan kawasan perikanan tambak. Namun dalam beberapa tahun kedepan, nama Danau Kandih Sawahlunto akan segera terhapus dari daftar salah satu objek wisata di ‘Kota Arang’ tersebut. Hal ini dikarenakan, danau yang terbentuk akibat kecelakaan alias jebolnya aliran Batang Ombilin itu akan segera ditimbun karena dinilai tidak lagi efektif sebagai objek wisata maupun lokasi perikanan. Rencana penimbunan tersebut dikarenakan kecenderungan danau yang semakin mendangkal dari waktu ke waktu. Dari awalnya memiliki kedalaman 80 meter hingga mencapai 175 meter, sekarang danau ini hanya memiliki kedalaman 15 meter hingga 45 meter. Pendangkalan terjadi akibat sedimen berupa lumpur dari pengikisan tebing yang ada di arel Kandi serta endapan an-organik dari aliran sungai Ombilin, yang juga bisa mencemari lingkungan hidup dikawasan itu.Sedimentasi pada dasar danau membentuk lumpur hisap yang sangat berbahaya jika digunakan sebagai lokasi wisata.
Selain itu, danau kandih juga memiliki zat asam yang tinggi yang menyebabkan kematian pada tambak. Semoga saja penimbunan danau Kandih menjadi solusi terbaik untuk dampak pertambangan terbuka di kota Sawahlunto