Monday, October 15, 2018

[RESENSI NOVEL] Jugun Ianfu, Jangan Panggil Aku Miyako: Kisah Tragedi Cinta Seorang Jugun Ianfu



Enang Rokajat Asura, penulis novel bergendre sejarah yang saya kenal melalui karya beliau Dwilogi “Prabu Siliwangi” dan “Wangsit Siliwangi” terbitan Edelwiss 2009. Perkenalan saya dengan berlanjut ketika saya berkunjung ke Rumah Buku, di salah satu sudut ruang karya terbaru beliau menghiasi rak-rak display toko buku tersebut. Ada dua karya beliau terpajang Kupilih Jalan Gerilya, sebuah novel biografi Panglima Jendral Soedirman dan Jugun Ianfu, Jangan Panggil Aku Miyako. Saya pun memilih novel E. Rokajat Asura, Jugun Ianfu, Jangan Panggil Aku Miyako sebagai bahan bacaan saya. Sepengetahuan saya tak banyak bacaan ataupun novel yang mengangkat kisah kehidupan bangsa Indonesia pada Zaman Pendudukan Jepang atau Perang Asia Timur Raya terutama tentang “comfort women” atau Jugun Ianfu. Beberapa bacaan yang penah saya baca mengenai Jugun Ianfu seperti Perawan Remaja dalam Cengkraman Militer (Pramoedya Ananta Toer); Momoye, Mereka Memanggilku (Eka Hindra); serta Cantik itu Luka (Eka Kurniawan).
“Jepang itu lebih kejam dibandingkan Belanda”.       (Anonim)
Setidaknya novel ini memberikan gambaran salah satu bentuk kekejaman Kekaisaran Jepang terhadap perempuan Indonesia. Novel “ Jugun Ianfu, Jangan Panggil Aku Miyako” merupakan sebuah mengisahkan kehidupan seorang remaja putri pada periode 1942-1945. Lasmirah, begitu remaja putri berasal dari Suryotarunan, belum pernah mengalami menstruasi, tak pernah membayangkan takdirnya akan menjadi “Ransum Nippon”. Impiannya untuk menjadi seorang penyanyi terkenal di Borneo pupus sudah. Zus Mer, seorang kenalan di Suryotarunan menjanjikan padanya menjadi penyanyi terkenal di Borneo, malah mengantarkan Lasmirah hidup menjadi seorang Jugun Ianfu di Ianjo Telawang selama kurun waktu Perang Timur Raya.  “Lasmirah”, nama yang memiliki arti berkilauan, kini kehilangan kilauannya, berganti dengan Miyako.
Ianjo Telawang, sebuah rumah bordil militer daerah di Kalimantan Selatan, menjadi tempat yang menyimpan kenangan pahit para penghuni tak terkecuali Miyako. Tak hanya menggoreskan kenangan pahit Miyako yang menghantuinya seumur hidup  sebagai seorang Jugun Ianfu,  di dalam Ianjo Telawang inilah Miyako menemukan dua orang pria yang mencintainya dengan cara berbeda. Cinta pertama diperoleh dari seorang perwira menengah atas angkatan darat Jepang, tamu dari Ianjo Telawang bernama Yamada. Sosok Yamada memberikan kenyamanan dan harapan keluar dari Ianjo. Yamada memberikan janji untuk  memiliki keluarga dan hidup di Jepang ataupun Jawa. Namun, sosok ini pula yang menyebabkan Miyako beberapa kali bermasalah selama di Telawang.
Cinta kedua berasal dari seorang tentara PETA yang tinggal bersama keluarga pemusik Sahilatua di sebelah barat Ianjo Telawang bernama Pram atau Pramudia. Sebelum perkenalan “resmi” yang disponsori Ayumi atau Rosa, salah seorang penghuni Ianjo Telawang dan pemusik Sahilatua, secara kebetulan Miyako pernah melihat Pram sebelum keberangkatannya ke Borneo di Stasiun Pasar Turi. Pada pemuda inilah, hati Miyako tertambat. Tak hanya menjanjikan mengeluarkan Miyako dari Telawang, pada akhir kisah dia pula yang mengusahakan agar hal itu terwujud. Tak hanya janji semata!
Secara garis besar, novel “Jugun Ianfu, Jangan Panggil Aku Miyako” mengadaptasi kisah hidup Mardiyem, seorang Jugun Ianfu di Asrama Telawang yang pernah ditulis oleh Eka Hindra dan Koichi Kimura dengan judul “Momoye, Mereka Memanggilku”. Alur cerita yang maju mundur menyebabkan novel ini bukanlah bacaan yang dapat dibaca “sekali duduk”. Dibutuhkan konsentrasi dan keseriusan dalam membaca dan memahami isi novel. Untuk mengambarkan situasi kehidupan Miyako dan Ianjo Telawang, penulis menggunakan sudut pandang orang ketiga diluar cerita.
Sebagai novel sejarah, “Jugun Ianfu, Jangan Panggil Aku Miyako”, memiliki batas terkait konteks kejadian, tempat, dan waktu. Hal dapat menjadi kelemahan novel ini, penceritaan terasa monoton, terlebih lagi bagi pembaca yang sebelumnya telah membaca  “Momoye, Mereka Memanggilku”. Namun, apabila penulis melakukan eksplorasi yang lebih mendalam dari segi materi, ide penceritaan, dan pemilihan kata, akan membuat novel ini yang lebih menarik lagi.
Terlepas dari kekurangan tersebut, novel menjadi salah satu dari sedikit tulisan yang mengangkat tema Jugun Ianfu. Selama ini –sepengetahuan saya, keberadaan Jugun Ianfu selama Zaman Pendudukan Jepang merupakan fakta sejarah yang tidak pernah dibahas dalam pelajaran sejarah di tingkat Sekolah Menengah. Hadirnya novel ini dapat memberikan informasi dasar mengenai Jugun Ianfu. Pengemasan informasi yang dilakukan secara populer, menyebabkan pembaca mudah menangkap keseluruhan isi dari tulisan E. Rojakat Asura ini –di luar konteks alur cerita.
Bagi pembaca yang ingin mengetahui salah satu sisi kelam Perang Asia Timur Raya bagi Indonesia, direkomendasikan untuk membaca buku ini. Selamat membaca!
Catatan:
Resensi novel “Jugun Ianfu, Jangan Panggil Aku Miyako” ini sempat saya presentasikan dalam kelas resensi buku di Komunitas Aleut. Terlepas dari segi isi novel, topik jugun ianfu yang diangkat novel ini menarik perhatian peserta kelas resensi dan pembina Komunitas Aleut untuk mengetahui lebih lanjut praktik Jugun Ianfu di negara bekas jajahan Jepang selama Perang Asia Timur Raya. Banyak pertanyaan-pertanyaan muncul ketika saya menyampaikan resensi novel ini dalam bentuk lisan seperti: Apakah praktek jugun ianfu yang terjadi sepanjang Perang Asia Timur Raya dilegalkan oleh Kaisar Hirohito Apa yang menjadi alasan Kaisar melegalkan praktik jugun ianfu?; Bagaimana nasib ex-jugun ianfu setelah berakhirnya Perang Asia Timur Raya? Dan pertanyaan-pertanyaan lain. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang ditanyakan, tentu saja saya harus mengkomparasi isi novel ini dengan beberapa buku lain yang mengangkat topik jugun ianfu ini.
Sumber Foto: twitter @RokajatAsura