Bosscha adalah impian setiap anak yang pernah menyaksikan film Petualangan Sherina termasuk saya. Untuk mewujudkan impian itu, maka Sabtu 25 Oktober 2008 saya dan kelima temannya lainnya mengadakan kunjungan ke Bosscha. Perjalanan itu kami mulai dari gerbang utara ITB yang penuh sesak. Kebetulan hari kunjungan kami itu bertepatan dengan hari wisuda. Dari gerbang tersebut kami menaiki angkot Kelapa- Ledeng. Akan tetapi, untuk mencapai Lembang tidak cukup hanya menaiki satu angkot saja. Kami harun turun dan berganti angkot St Hall- Lembang dan melewati dua universitas yang cukup terkenal di Bandung yaitu UPI (Universitas Pendidikan Indonesia) dan Universitas Pasundan tepat kakak sepupu saya bersekolah.
Memasuki daerah Lembang, udara dingin menyambut kehadiran kami. Walaupun semua kaca angkot telah tertutup rapat dan kami memakai jaket, tapi kami masih tetap kedinginan. Itu tidak mematahkan semangat kami untuk pergi ke Bosscha. Di persimpangan supir angkot menurunkan kami. Menurut informasinya, kami harus melanjutkan perjalanan kami mendaki bukit. Didepan gerbang pertama sekawanan tukang ojek berkumpul dan siap mengantarkan kami menuju Bosscha. Namun, kami memilih untuk berjalan kaki.
Ini perjalanan yang cukup melelahkan karena jarak dari pintu gerbang pertama ke kawasan observatorium adalah 800 m. Pengunjung dapat berjalan kaki (mendaki) ke observatorium yang dapat ditempuh dalam waktu 15-20 menit. Kelelahan itu dapat terobati karena dari sana kami dapat melihat pemandangan daerah Lembang yang indah.
Obsevatorium Bosscha (dahulu dikenal sebagai Bosscha Sterrewacht) adalah salah satu observatorium penting di belahan bumi Selatan. Observatorium Bosscha dibangun oleh NISV (Nedelandsch-Indiesche Sterrenkundige Vereeniging) atau Perhimpunan Bintang Hindia-Belanda. Pembangunan observatorium ini berlangsung tahun 1923-1928. Nama Observatorium Bosscha ini diambil dari nama sponsor utamanya yaitu Karel Albert Rudolf Bosscha (1865-1928), seorang tuan tanah yang memiliki perkebunan teh di daerah Malabar. Tahun 1928, teleskop refraktor Ganda Zeiss datang dan mulai menghuni Bosscha. Teleskop Zeiss adalah teleskop terbesar di obsevatorium ini dn merupakan salah satu seting saat proses syuting Petualangan Sherina. Teleskop buatan Jerman ini masih bias menjalan fungsinya dengan baik karena dirawat dan dijaga dengan baik. Teleskop Zeiss memang diperliharkan kepada khaylak ramai namun bagi yang tidak berkepentingan dilarang mendekatinya. Selain itu kata Dias salah satu mahasiswa ITB semester tujuh mengatakan untuk perbaikannya observatorium memiliki bengkel tersendiri mengingat pabrik yang membuat teleskop Zeiss tidak lagi memproduksi onderdil-onderdilnya. Pada tahun 1951, Observatorium Bosscha diserahkan kepada FMIPA UI. Dengan berdirinya ITB pada tahun 1959, observatorium ini menjadi bagian dari ITB.
Observatorium Bosscha terletak di Lembang, sekitar 15 km ke arah Utara Bandung dengan koordinat geografis 107° 36' Bujur Timur dan 6° 49' Lintang Selatan. Koordinat ini juga mempengaruhi panjang tiang penyangga teleskop Zeiss yang mana tiang di sebelah Utara lebih panjang dari tiang di sebelah Selatannya. Lokasinya berada pada ketinggian 1310 m dari permukaan laut, atau pada ketinggian 630 m dari plato Bandung.
Publikasi internasional pertama Observatorium Bosscha dilakukan pada tahun 1933. Namun kemudian observasi terpaksa dihentikan dikarenakan sedang berkecamuknya Perang Dunia II . Setelah perang usai, dilakukan renovasi besar-besaran pada observatorium ini karena kerusakan akibat perang hingga akhirnya observatorium dapat beroperasi dengan normal kembali.
Observatorium ini dilengkapi dengan teleskop berbagai ukuran dan jenis Masing-masing teleskop memiliki sasaran objek pengamatan yang berbeda-beda. Ada 5 teleskop yang aktif untuk penelitian astronomi.
Kelima teleskop tersebut adalah:
T1. Teleskop refraktor Ganda Zeiss
Teleskop ini biasa digunakan untuk mengamati bintang ganda visual, mengukur fotometri gerhana bintang, mengamati citra kawah bulan, mengamati planet, mengamati oposisi planet Mars,Saturnus, Jupiter, dan untuk mengamati citra detail komet terang serta benda langit lainnya. Teleskop ini mempunyai 2 lensa objektif dengan diameter masing-masing lensa 60 cm, dengan titik api atau fokusnya adalah 10,7 meter.
2. tTeleskop Schmidt Bima Sakti
Teleskop ini biasa digunakan untuk mempelajari struktur galaksi Bima Sakti, mempelajari spektrum bintang, mengamati asteroid, supernova, Nova untuk ditentukan terang dan komposisi kimiawinya, dan untuk memotret objek langit. Diameter lensa 71,12 cm. Diameter lensa koreksi biconcaf-bicofex 50 cm. Titik api/fokus 2,5 meter. Juga dilengkapi dengan prisma pembias dengan sudut prima 6,10, untuk memperoleh spektrum bintang. Dispersi prisma ini pada H-gamma 312A tiap malam. Alat bantu extra-telescope adalah Wedge Sensitometer, untuk menera kehitaman skala terang bintang , dan alat perekam film
3. tTeleskop Refraktor Bamberg
Teleskop ini biasa digunakan untuk menera terang bintang, menentukan skala jarak, mengukur fotometri, gerhana bintang, mengamati citra kawah bulan, pengamatan matahari, dan untuk mengamati benda langit lainnya. Dilengkapi dengan fotoelektrik-fotometer untuk mendapatkan skala terang bintang dari intensitas cahaya listrik yang di timbulkan. Diameter lensa 37 cm. Titik api ata
4. tTeleskop Cassegrain GOTO
Dengan teleskop ini, objek dapat langsung diamati dengan memasukkan data posisi objek tersebut. Kemudian data hasil pengamatan akan dimasukkan ke media penyimpanan data secara langsung. Teropong ini juga dapat digunakan untuk mengukur kuat cahaya bintang serta pengamatan spektrum bintang. Dilengakapi dengan spektograf dan fotoelektrik-fotometer.
5. tTeleskop refraktor Unitron
Teleskop ini biasa digunakan untuk melakukan pengamatan hilal, pengamatan pengamatan gerhana dan gerhana matahari, dan pemotretan bintik matahari serta pengamatan benda-benda langit lain. Dengan diameter lensa 13 cm, dan fokus 87 cm
Observatorium yang dipimpin oleh Bapak Taufik Hidayat ini mengalami masalah yang cukup berat yaitu polusi cahaya yang diakibatkan oleh perkembangan pemukiman di daerah Lembang dan kawasan Bandung Utara yang tumbuh laju pesat sehingga banyak daerah atau kawasan yang dahulunya rimbun ataupun berupa hutan-hutan kecil dan area pepohonan tertutup menjadi area pemukiman, vila ataupun daerah pertanian yang bersifat komersial besar-besaran. Akibatnya banyak intensitas cahaya dari kawasan pemukiman yang menyebabkan terganggunya penelitian atau kegiatan peneropongan yang seharusnya membutuhkan intensitas cahaya lingkungan yang minimal. Sementara itu, kurang tegasnya dinas-dinas terkait seperti pertanahan, agraria dan pemukiman dikatakan cukup memberikan andil dalam hal ini. Dengan demikian observatorium yang pernah dikatakan sebagai observatorium satu-satunya di kawasan khatulistiwa ini menjadi terancam keberadaannya.
Setelah melihat dan mendengar penjelasan mengenai Teleskop Zeiss, teleskop tertua yang ada di observatorium ini serta sejarah singkatnya, rombongan kami dan rombongan Perhimpunan Gereja Indonesia yang kebetulan mengadakan lawatan ke Bosscha disuguhi dengan penjelas-penjelasan umum tentang astronomi yang bentuk film documenter serta adanya sesi Tanya jawab.
Menghabiskan waktu dua jam untuk mengunjungi observatorium bagi orang yang mencintai ilmu perbintangan adalah waktu yang singkat. Apalagi belum sempat untuk mencoba teleskop refraktor Unitron dan teleskop Schmidt Bima Sakti yang dapat dicoba pada saat kunjungan malam belumlah cukup. Maka kami berencana untuk kembali lagi tahun depan. Karena observatorium membuka kunjungan malam untuk umum mulai bulan April hingga Agustus disamping untuk penelitian yang dilakukan. Kunjungan tersebut terbatas hanya tiga kali pengamatan dalam sebulan sehingga baginya berminat harus mendaftar sesegera mungkin.
Pulang dari Bosscha kami makan disalah satu warung yang menjual berbagai jenis sate termasuk sate kelinci. Dan yang lebih aneh lagi mie rebus juga memakai daging kelinci. Lucu ya….
Memang sepanjang perjalanan dari Bandung ke Lembang kita dapat melihat di kiri-kanan jalan orang menjual kelinci mulai kelinci untuk dipelihara hingga kelinci yang dijadikan makanan. Akhirnya kami harus meninggalkan hijaunya pepohonan dan segarnya udara Lembang untuk kembali beraktivitas di Bandung.